BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS

Rabu, 16 Maret 2011

kisah persahabatan

Ini kisah persahabatan dua anak manusia. Yang seorang
adalah putra presiden, yang lain pemuda rakyat jelata
bernama Pono.

Persahabatan ini sudah terjalin sejak mereka masih di
bangku sekolah. Pono punya kebiasaan yang kadang
menjengkelkan. Apa pun peristiwa yang terjadi di
depannya selalu dianggap positif. "Itu Baik!” katanya
senantiasa.

Hari itu seperti yang sering mereka lakukan, Pono
menemani sahabatnya berburu. Tugasnya membawa senapan
dan mengisi peluru agar selalu siap digunakan. Entah
kenapa, barangkali belum terkunci secara sempurna,
setelah diserahkan kepada sahabatnya senapan itu
meletus. Akibatnya cukup fatal. Ibu jari putra
presiden terkena terjangan peluru dan putus. Melihat
itu tanpa sadar dengan kalemnya Pono berkomentar. "Itu
Baik!” Kontan sahabatnya naik pitam. “Bagaimana Kau
ini! Jempolku putus tertembak, malah dibilang Baik.
Brengsek!” Agaknya, kali ini kelakuan Pono tak
termaafkan. Ia dijebloskan ke penjara.

Beberapa bulan kemudian, sang putra presiden kembali
pergi berburu ke Afrika. Malang, ia tersesat di hutan
lebat dan ditangkap suku primitif yang masih kanibal.
Malam harinya, dalam keadaan terikat ia akan dibakar
untuk disantap ramai-ramai. Anehnya, mendadak ia
dibebaskan. Belakangan ketahuan, suku tersebut pantang
memangsa makhluk yang organ tubuhnya tidak lengkap.

Nasib baik itu membuat sang putra presiden termenung.
Ia teringat kembali peristiwa ketika jempolnya putus
tertembak lantaran ulah Pono. Ia kemudian menemui Pono
di penjara.

"Ternyata Kau benar. Ada baiknya jempolku tertembak,”
katanya sambil menceritakan peristiwa yang baru saja
dialaminya di Afrika. "Aku menyesal telah
memenjarakanmu."

“Oh, tidak!’ Bagiku, ini Baik!”

“Bagaimana kau ini? Memenjarakan teman kau bilang
baik?”

“Kalau aku tidak dipenjara, pasti saat itu aku
bersamamu.”

Kisah satir ini mengingatkan pada pernyataan Randolph
Bourne, intelektual Amerika yang juga anak didik John
Dewey. Katanya, seorang teman itu memang dipilih untuk
kita berdasarkan hukum perasaan yang tersembunyi,
bukan oleh kehendak sadar kita si manusia. *